SIARAN PERS PBHI WILAYAH SUMATERA BARAT : ” DEKI SUSANTO DITEMBAK, BUKAN MELAWAN”

Bagikan

LAPORAN : FEBRYANSAH

Teka teki di balik penembakan terhadap Deki Susanto (DS) pada 27 Januari 2021 yang diduga dilakukan oleh oknum aparat Kepolisian Sektor Sungai Pagu Kabupaten Solok Selatan pada saat penangkapannya, semakin mendapat titik terang.

Sebelumnya, beredar informasi yang seolah mesjustifikasi DS mencoba melawan petugas dengan menggunakan sebilah golok (sebagian lagi mengatakan pisau), sehingga melukai tangan petugas. Bahkan, DS dikatakan telah melakukan penusukan. Hal ini disampaikan oleh pihak kepolisian mulai dari Humas Polda Sumbar hingga Kapolres Solok Selatan. Klarifikasi tersebut perlu dipertanyakan. Terlebih lagi sejak awal, kepolisian hingga kini belum memperlihatkan kepada publik bukti yang meyakinkan DS telah melawan sehingga harus dilumpuhkan.


Terungkapnya fakta baru bahwa DS telah ditembak pada bagian kepala (organ vital) tanpa tembakan peringatan terlebih dahulu, pasca beredarnya 2 (dua) video yang mengarah kepada adanya kesalahan fatal petugas dalam proses penindakan yang berujung maut bagi korban (DS), dan kesaksian istri korban, serta telah diturunkan Tim Lidik untuk Polda Sumbar mengindikasikan kepolisian telah lalai dalam proses penangkapan DS yang berujung pada kematian korban.


Dari pemantauan yang dilakukan PBHI Sumbar, mencatat beberapa hal penting. Pertama, penembakan terhadap DS dalam proses penangkapan yang dilakukan oleh ±6 (enam) anggota kepolisian adalah pelanggaran HAM yang serius melalui tindakan (by action). Penembakan tersebut jelas tidak dibenarkan dan termasuk kepada pembunuhan di luar proses peradilan (extra judicial killing). UU Kepolisian dan Hukum Acara Pidana kita mengatur bahwa penegakan hukum harus menghormati asas praduga tidak bersalah dan perlindungan terhadap hak asasinya selaku warga negara.

Seseorang yang diduga melanggar suatu peraturan perundang-undangan (hukum) harus dihormati haknya untuk diperlakukan secara adil dan bermartabat. Karena itu, patut diduga seperangkat peraturan perundang-undangan terkait penggunaan kekuatan dan senjata oleh petugas, Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas POLRI, Penggunaan Kekuatan dan Tindakan, SOP ataupun prosedur tetap penggunaan senjata, telah dilanggar oleh petugas di lapangan.


Kedua, Terduga pelaku penembakan harus dipecat dan diberhentikan secara tuidak hormat dari tugas sebagai anggota kepolisian. Jajaran pimpinan terkait juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan anggota sesuai mekanisme yang berlaku di tubuh kepolisian. Lebih penting lagi, pelaku harus dihukum berat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan PBHI meminta hentikan praktik impunitas (pelaku tidak mempertanggunggjawabkan perbuatannya melalui mekanisme hukum yang berlaku). Untuk itu PBHI meminta kepolisian harus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perbuatan pelaku secara profesional, transparan dan bertanggungjawab.


Ketiga, hentikan pengalihan opini atas apa yang terjadi di lapangan. PBHI meminta, kepolisian tidak memberikan informasi hanya berdasarkan keterangan dari anggota sebelum mendapatkan fakta yang utuh tentang kejadian yang sesungguhnya. Informasi yang hanya berdasarkan keterangan anggota justru terkesan bagi publik sebagai bentuk perlindungan anggota. Jangan terkesan bahwa informasi yang disebarkan secara tidak utuh, dianggap sebagai berita hoaks yang biasa menjadi objek kriminalisasi bagi masyarakat. Akankah sebaliknya jika kepolisian yang dipandang menyebarkan berita hoaks juga dapat diproses secara pidana? Pertanyaan kritis ini tentu akan muncul di tengah-tengah masyarakat. PBHI meminta, ke depan kepolisian benar-benar bekerja dalam batas koridor sebagaimana fungsi dan tugasnya menurut UU 02/2002 (UU POLRI), yaitu memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan keadilan, dan tugas pokok POLRI adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. (*)

Bagikan